Ada perdebatan yang sangat klise yang berulang-ulang muncul di linimasa saya. Perdebatan antar mamah-mamah muda tentang dunia mereka. Jujur saja saya lelah dengan semua debat kusir apa pun itu temanya.
Mau tentang ibu berkarir vs ibu rumah tangga, atau tentang gaya pengasuhan western-style vs eastern-style, dolphin mom vs tiger mom, memberi vaksin vs antivaksin, apa pun itu. Bagi saya semua sangat menguras pikiran. Bikin lelah.
Mengenai topik imunisasi, saya menilai bahwa itu adalah topik ter-hot sekaligus terlama yang pernah menjadi perdebatan. Dari saya sebelum menikah hingga kini anak sulung saya berusia 4 tahun.
Saya pernah berada di sebuah titik di mana saya merasa dilema dalam memutuskan apakah si kecil harus divaksinasi atau tidak. Ketidaktahuan saya akan informasi yang sesuai fakta membuat saya terombang-ambing dalam “badai pertarungan” antara dua kubu : antivaks vs provaks.
Saya menggali informasi tentang isu ini kepada teman-teman saya yang memahami bidang ini secara lebih dalam. Katakanlah mereka ada yang berprofesi dokter, perawat, penyuluh kesehatan masyarakat. Semua saya tanya satu-persatu mengenai imunisasi. Perlu apa tidak? Mengapa solusinya harus imunisasi? Apa yang terjadi jika anak tidak divaksin? Beruntun pertanyaan saya ajukan demi sebuah jawaban yang pasti.
Semua kolega yang saya tanya kebanyakan menjawab bahwa imunisasi itu perlu sebagai tindakan pencegahan penyakit yang bisa membahayakan di kemudian hari. Vaksin yang dipakai sudah melalui proses pengujian dan terbukti cukup efektif menekan beragam wabah penyakit yang bisa berakibat kematian pada bayi dan anak-anak.
Meski untuk tindakan pencegahan penyakit, bukan berarti imunisasi itu sebagai formula paling manjur untuk semuanya. Tentu saja, manusia tidak bisa melawan takdir. Imunisasi bisa menjadi salah satu cara untuk melindungi buah hati dari paparan virus, bakteri jahat yang bisa berakibat fatal di kemudian hari.
Sudah mendapat penjelasan lengkap tentang manfaat vaksinasi, herannya saat itu saya malah skeptis. Kesalahan saya adalah saya tetap mengkonsumsi wacana yang bergulir. Bagaimana dua kubu antara antivaks dan provaks di grup Facebook ini bertarung mempertahankan argumen masing-masing. Saling ngotot, saling caci maki, saling merendahkan satu sama lain, yang intinya malah membuat kebingungan saya semakin parah.
Ibarat Dua gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah.
Ya, saya akui ini kesalahan besar. Harusnya saya meninggalkan grup yang membahas perang opini ini. Karena bukannya tercerahkan, ujung-ujungnya anak sulung saya tidak mendapat imunisasi lengkap.
:::
Belajar dari kesalahan saya di masa lalu, saya jadi ingin berkisah. Ini merupakan cerita yang membuat saya tergugah dan membuat saya berpikir ulang tentang pencegahan penyakit untuk orang yang sayangi.
Adalah Charlotte Cleverley-Bisman, seorang gadis yang lahir pada 24 November 2003 di Waiheke Island, New Zealand. Putri pasangan Pam Cleverley and Perry Bisman ini harus merasakan amputasi dua tangan dan kaki akibat infeksi meningococcal yang sangat parah. Saat itu usianya baru 8 bulan.
Tunggu, infeksi apa tadi? Meningococcal?
Baru dengar pertama kali ini? Sama dong, saya juga. Meningococcal adalah salah satu varian dari meningitis, yakni penyakit yang disebabkan oleh bakteri yang bisa menyebabkan kerusakan otak dan keracunan darah.
Penyakit ini masih menjadi fokus di sejumlah negara barat karena menjadi epidemi yang menakutkan sekaligus mematikan. Kalau pun selamat dari maut, penderitanya bisa menderita cacat otak atau amputasi di bagian tubuhnya.
Kasus yang menimpa Charlotte bermula dari sang ibu yang curiga dengan bercak aneh di leher putrinya. Ia pun segera membawa bayinya ke rumah sakit untuk ditangani. Tak disangka infeksi bakteri ini sangat cepat reaksinya. Tubuh Charlotte dipenuhi bercak keungungan dan membengkak dalam hitungan menit.
Infeksi ini membuat bayi mungil ini harus merasakan prosedur medis yang sangat menyakitkan untuk menyelamatkan nyawanya. Meski harus dibayar mahal, Charlotte pun kehilangan dua tangan dan dua kakinya agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuhnya.
Saat membaca kisah bayi Charlotte di sini, saya pun merenung.
Membayangkan bagaimana jika Charlotte adalah anak saya.
Membayangkan bayi saya menderita penyakit yang mematikan.
Membayangkan nyawa anak sendiri di ujung tanduk dan tidak ada yang bisa dilakukan kecuali melakukan amputasi di keempat anggota badannya.
Seperti apa rasanya, jika itu menimpa diri saya?
Sekedar membayangkan saja sudah membuat hati saya tersayat-sayat. Adakah yang bisa dilakukan untuk mencegahnya? Jika ada tindakan preventif tentu itu lebih baik sebelum terlambat, bukan?
Mungkin di antara pembaca ada yang berpikir, “hey, itu kan Charlote. Dia orang Selandia baru, sementara saya tinggal di Indonesia. Mungkinkah apa yang dia alami bisa terjadi di sini?”
Tentu saja. Kemungkinan itu selalu ada. Meningococcal hanyalah satu dari beragam varian penyakit meningitis yang menyerang sistem saraf pusat.
Beberapa penyebab meningitis adalah Streptococcus pneumoniae, Nesseria meningitides (meningococcal) ,dan Haemophilus influenzae tipe b. Selain itu penyebab meningitis bukan hanya bakteri, tetapi juga virus.
Hasil penelitian WHO sendiri mengungkap bahwa meningitis menjadi “pembunuh” anak balita yang cukup tinggi yakni 1,8 juta per tahun di seluruh dunia. Dari angka tersebut sekitar 700 ribu lebih terjadi di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Ditambah masa inkubasi yang sangat pendek, dalam rentang waktu 24 jam hingga 48 jam, meningitis bisa berakibat fatal jika tidak ditangani secepatnya.
:::
Mengambil pelajaran dari kasus Charlotte,kini saya jadi semakin memiliki awareness atau kesadaran tentang kemungkinan bahaya epidemi yang bisa terjadi. Apa yang bisa dilakukan sebagai tindakan preventif?
- Belajar, belajar, dan belajar. Sebagai seorang ibu saya perlu mengedukasi diri saya sendiri agar si kecil terhindar dari bakteri jahat, virus, maupun sumber penyakit lainnya.
- Setelah mendapat ilmu, langkah selanjutnya melakukan tindakan pencegahan penyakit. Meski saya tidak menganggap bahwa imunisasi adalah satu-satunya jalan, saya menganggap bahwa imunisasi perlu dilakukan demi pencegahan. Sekali lagi perlu digarisbawahi: DEMI PENCEGAHAN.
- Mencegah itu artinya berupaya agar potensi-potensi yang bisa membahayakan di kemudian hari bisa diminimalisir semaksimal mungkin. Seperti kita memakai helm untuk mencegah cedera di kepala jika terjadi kecelakaan.
Be tough mom.
8 Juni 2016
sumber:
Makalah Meningitis pada Anak, Poltekkes Malang 2013-2014
charlottecleverleybisman.com
https://en.wikipedia.org/wiki/charlotte_cleverley-bisman